Kearifan Lokal sebagai Pilar Kesadaran : “Kethek Ogleng”

Kesenian Kethek Ogleng di Wonogiri

Kesenian Kethek Ogleng adalah sebuah kesenian rakyat yang telah lama tumbuh di berbagai wilayah Jawa Selatan, seperti Pacitan, Wonogiri, dan Gunung Kidul. Di Kabupaten Wonogiri, kesenian ini masih hidup dan berkembang di beberapa kecamatan, antara lain Kecamatan Nguntoronadi, Ngadirojo, Slogohimo, Jatipurno, Jatisrono, Sidoharjo, Kismantoro, dan Tirtomoyo. Khususnya di Kabupaten Wonogiri, Tari Kethek Ogleng telah dijadikan sebagai simbol atraksi budaya sekaligus daya tarik pariwisata daerah (Dhewantoro, 2022). Bagi masyarakat Wonogiri, kesenian Kethek Ogleng berperan sebagai hiburan rakyat yang biasanya ditampilkan setelah musim panen atau dalam rangka memeriahkan berbagai acara seperti pesta hajatan, khitanan, pelaksanaan nadzar usai sembuh dari penyakit, maupun sebagai bentuk ungkapan syukur atas keberhasilan mencapai suatu tujuan.

Dari segi etimologi, nama Kethek Ogleng terdiri dari dua kata, yaitu Kethek yang dalam Bahasa Jawa berarti kera, dan Ogleng yang merujuk pada suara khas alat musik Saron Demung, sering disebut gleng. Dengan demikian, Kethek Ogleng dapat diartikan sebagai tarian kera yang menampilkan gerakan jenaka diiringi alunan gamelan yang menghasilkan bunyi ogleng-ogleng. Kesenian Kethek Ogleng sarat dengan nilai-nilai moral yang mendalam. Tokoh utamanya, yang menyerupai Hanoman dari kisah Ramayana namun memiliki perbedaan seperti mengenakan kain bermotif kotak-kotak hitam putih dan tidak memiliki kuku melambangkan sifat kesetiaan, keberanian, serta keteguhan dalam menghadapi rintangan demi kebaikan bersama. Pesan moral yang disampaikan adalah bahwa kebenaran dan perbuatan baik akan membawa kebahagian serta kesejahteraan. Untuk meraih tujuan, seseorang perlu berjuang dengan sungguh-sungguh. Selain itu, sosok kera dalam tarian ini juga merepresentasikan karakter yang ceria dan menghibur (Warto, 2014).

Baca Konten Pameran Lainnya :

Melihat dari pendekatan dan karakteristik yang dimiliki kesenian Kethek Ogleng yang saat ini jarang ditemui bahkan sudah jarang pula kesenian sanggar yang menampilkan Kethek Ogleng tersebut, perlu dilakukan upaya yang sungguh-sungguh dan terencana agar kesenian ini tetap lestari di masa depan. Salah satu langkah penting adalah mengenalkan kesenian ini secara luas kepada masyarakat, terutama kepada generasi muda. Dengan begitu, mereka tidak hanya mengetahui keberadaan Kethek Ogleng, tetapi juga mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pemahaman dan apresiasi estetika dari generasi muda sangat dibutuhkan agar kesenian ini mampu bertahan dan tetap relevan di tengah pesatnya perkembangan seni modern yang dipengaruhi oleh budaya asing.

Kesenian tradisional mencerminkan jati diri suatu bangsa, menggambarkan nilai-nilai luhur, sejarah, dan kekayaan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Namun, arus globalisasi dan modernisasi kerap kali menggerus eksistensi kesenian lokal. Dalam kondisi seperti inilah, peran komunitas menjadi penting dalam usaha revitalisasi dan pelestarian budaya tradisional. Kata “nyawiji” dalam Bahasa Jawa berarti bersatu atau menyatu dalam semangat dan tujuan. Semangat inilah yang menjadi fondasi gerakan komunitas di Wonogiri dalam melestrasikan Kethek Ogleng. Kesenian yang menggambarkan tokoh kera dalam kisah pewayangan ini pernah mengalami masa kejayaan, namun kemudian mengalami kemunduran akibat kurangnya regenerasi seniman, minimnya dukungan, dan rendahnya apresiasi masyarakat modern terhadap seni tradisional (Margana & Wibowo, 2015).

Komunitas-komunitas budaya di Wonogiri, baik dari kalangan seniman, budayawan, pemuda, maupun akademisi, menyadari bahwa pelestarian Kethek Ogleng tidak bisa hanya disandarkan pada pemerintah atau segelintir individu saja. Melalui aksi kolektif seperti pelatihan tari untuk anak-anak, pementasan rutin di desa-desa, dokumentasi digital, hingga promosi melalui media sosial mereka berupaya memperkenalkan kembali Kethek Ogleng ke tengah masyarakat, khususnya generasi muda.

Mudahnya, agar kesenian ini semakin dikenal oleh generasi modern, salah satu ide menarik yang bisa penulis sampaikan adalah dengan memuat kesenian tersebut kedalam sebuah konten yang diunggah ke dalam media sosial yang saat ini tengah digemari oleh kaum modern, misalnya aplikasi Instagram dan Tiktok. Konten tersebut dapat di kreasikan semenarik mungkin agar dapat dilihat oleh kaum modern. Mengapa ide ini? Karena kaum muda saat ini tertarik dengan konten singkat yang berada di aplikasi Instagram dan Tiktok. Jenis konten apapun, jika dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman saat ini dipastikan dapat dikenal dan dilihat oleh banyak orang.

Tak hanya itu, komunitas juga mengadakan diskusi dan lokakarya tentang sejarah dan filosofi Kethek Ogleng, menghubungkannya dengan konteks kekinian agar lebih relevan dan menarik. Beberapa sanggar tari bahkan mulai mengintegrasikan unsur-unsur modern seperti musik kontemporer atau tata panggung yang lebih dinamis tanpa meninggalkan ruh tradisi yang asli. Inovasi ini menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara nilai budaya leluhur dan semangat zaman sekarang.

Untuk lebih menarik audiens dan peminat Kethek Ogleng, civitas pemerintah beserta kesenian tradisional di Wonogiri dapat bergerak bersama untuk memanfaatkan tempat Waduk Gajah Mungkur sebagai salah satu tempat pementasan kesenian Kethek Ogleng. Waduk Gajah Mungkur merupakan salah satu ikon terkenal yang dimiliki oleh Kabupaten Wonogiri, selain itu dengan dilakukannya pementasan kesenian Kethek Ogleng yang berlatarkan pemandangan Waduk Gajah Mungkur memberikan perpaduan antara keindahan seni dan keindahan alam. Dengan kata lain, selain memperkenalkan kesenian Kethek Ogleng serta merta memperkenalkan salah satu obyek wisata yang dimiliki oleh Wonogiri dan akan menjadi kebanggaan tersendiri.

Peran komunitas dalam revitalisasi ini menunjukkan bahwa pelestarian budaya bukan sekadar romantisme masa lalu, tetapi sebuah gerakan aktif yang membutuhkan kesadaran koletif. Nyawiji ing aksi menjadi semangat utama bahwa hanya dengan bersatu dan bergerak bersama, kesenian tradisional seperti Kethek Ogleng dapat kembali hidup, berkembang, dan menjadi kebanggaan daerah yang mampu bersaing di tengah arus budaya global. Revitalisasi Kethek Ogleng bukan hanya tentang menghidupkan kembali sebuah pertunjukan seni, tetapi juga membangkitkan kesadaran identitas, memperkuat akar budaya, dan mempererat kohesi sosial masyarakat Wonogiri. Di tengah dunia yang terus berubah, gerakan komunitas ini menjadi pengingat bahwa menjaga budaya adalah menjadi jiwa bangsa itu sendiri.

Revitalisasi Kethek Ogleng bukan hanya tentang mempertahankan eksistensi sebuah seni pertunjukan, melainkan juga tentang bagaimana masyarakat, terutama generasi muda, kembali mengenali akar budayanya. Upaya pelestarian ini menjadi semakin kuat ketika komunitas, seniman, dan pemerintah daerah bersinergi melalui berbagai inovasi, mulai dari pelatihan, pertunjukan di ruang publik, hingga adaptasi media digital yang digemari anak muda. Ketika Kethek Ogleng tampil tidak hanya di panggung tradisional, tetapi juga di layar ponsel, maka kesenian ini telah mengambil langkah besar untuk tetap hidup dan diterima lintas generasi.

Pada akhirnya, semangat nyawiji ing aksi menjadi bukti bahwa budaya gotong royong adalah sebuah kekuatan utama dalam menghadapi tantangan zaman. Wonogiri dengan segala potensinya telah membuktikan bahwa kolaborasi antara nilai tradisional dan semangat modern dapat menciptakan harmoni budaya yang utuh. Dengan komitmen yang kuat dari berbagai pihak, Kethek Ogleng tidak hanya akan tetap lestari, tetapi juga mampu menjadi ikon budaya yang mengangkat martabat dan kebanggaan daerah di mata nasional maupun internasional. Semoga dengan adanya revitalisasi Kesenian Kethek Ogleng masyarakat menjadi semakin paham dan melestarikan budaya tersebut sehingga kesenian ini dapat diturunkan ke generasi berikutnya dan akan tetap lestari.

Penulis : Julia Putri Pertiwi seorang mahasiswi S1 Program Studi Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer di Universitas Negeri Semarang

Daftar Pustaka

Dhewantoro, H. N. S. (2022). Implementasi Pendidikan karakter Berbasis Kearifan Lokal Pada Kesenian Kethek Ogleng Wonogiri. Maharsi, 4(2), 48–57. https://doi.org/10.33503/maharsi.v4i2.2539

Margana, M., & Wibowo, A. H. (2015). Aplikasi Ikon Kethek Ogleng Pada Kerajinan Lokal Untuk Mendukung Pengembangan Cenderamata Wisata Khas Kabupaten Wonogiri. Cakra Wisata. https://jurnal.uns.ac.id/cakra-wisata/article/view/34471

Warto. (2014). Revitalisasi Kesenian Kethek Ogleng Untuk Mendukung Pengembangan Pariwisata Di Kabupaten Wonogiri. Paramita: Historical Studies Journal, 24(1), 47–62.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Buka Pameran Lainnya
Labuhan Ageng

Labuhan Ageng