Sungai Bengawan Solo, sungai terpanjang di Pulau Jawa, sejak berabad-abad menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sungai ini memberi air bagi pertanian, perikanan, serta menjadi jalur transportasi rakyat. Namun, di balik manfaatnya, Bengawan Solo juga menyimpan bencana. Hampir setiap tahun, banjir besar melanda wilayah hilir, menghancurkan sawah, merendam pemukiman, dan menimbulkan kerugian besar.
Sejak masa kolonial Belanda, gagasan untuk mengendalikan aliran Bengawan Solo sudah muncul. Namun, baru setelah Indonesia merdeka dan memasuki era pembangunan, rencana itu diwujudkan dalam bentuk sebuah bendungan besar di wilayah Wonogiri, Jawa Tengah. Bendungan tersebut kelak dikenal dengan nama Waduk Gajah Mungkur, mengambil simbol dari cerita rakyat tentang gajah raksasa yang konon tubuhnya menjelma menjadi perbukitan di sekitar Wonogiri.
Selain tujuan pengendalian banjir, bendungan ini juga dirancang untuk menyediakan air irigasi bagi ratusan ribu hektar sawah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mendukung ketersediaan listrik melalui Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), serta menjadi pusat pengembangan perikanan air tawar dan pariwisata. Dengan visi yang begitu besar, proyek ini ditetapkan sebagai salah satu program strategis nasional pada awal tahun 1970-an.
Pembangunan Waduk Gajah Mungkur secara resmi dimulai pada tahun 1976, didukung oleh kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan bantuan teknis dan pendanaan dari Jepang. Lokasi yang dipilih berada di pertemuan berbagai aliran sungai di wilayah Wonogiri, sehingga ketika bendungan selesai, air akan menggenangi lembah luas yang membentuk waduk raksasa dengan kapasitas lebih dari 700 juta meter kubik.
Proses pembangunan bendungan melibatkan ribuan pekerja dari berbagai daerah. Jalan baru dibuka, jembatan diperkuat, dan infrastruktur lain dipersiapkan untuk mendukung pekerjaan konstruksi. Dari sisi teknis, pembangunan ini tergolong proyek raksasa pada zamannyaâsebuah simbol modernisasi dan bukti kemampuan bangsa untuk menghadirkan infrastruktur berskala besar.
Namun, di balik kemegahan teknis tersebut, ada konsekuensi sosial yang amat besar. Daerah yang akan menjadi genangan waduk ternyata merupakan kawasan pemukiman padat dengan tanah pertanian subur. Sekitar 51 desa di 6 kecamatan harus direlokasi. Inilah titik awal lahirnya kisah bedhol desaâsatu istilah yang kemudian melekat erat dengan sejarah Waduk Gajah Mungkur.
Istilah bedhol desa dalam bahasa Jawa berarti “mencabut desa” dari akarnya untuk dipindahkan ke tempat lain. Inilah yang benar-benar terjadi pada masyarakat Wonogiri kala itu. Ribuan keluarga harus meninggalkan rumah, sawah, kebun, bahkan makam leluhur yang selama berabad-abad menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Bayangkan sebuah keluarga yang telah turun-temurun hidup di tanah yang sama, menanam padi di sawah yang sama, dan merawat pusara nenek moyang di desa mereka. Tiba-tiba datang kebijakan negara yang meminta mereka untuk pindah, karena tanah itu akan digenangi air. Bagi banyak orang, ini bukan sekadar pindah rumah, tetapi kehilangan identitas, sejarah, dan akar budaya mereka.
Proses relokasi dilakukan secara bertahap. Pemerintah menyediakan lahan baru di berbagai wilayah, baik di sekitar Wonogiri maupun di daerah transmigrasi luar Jawa, seperti Sumatra dan Kalimantan. Sebagian warga memilih pindah ke lokasi yang tidak terlalu jauh dari kampung asal, agar masih bisa sesekali menengok bekas desa mereka sebelum benar-benar tenggelam. Namun, banyak juga yang harus menempuh perjalanan jauh untuk memulai kehidupan baru di tanah asing.
Perpindahan massal ini menjadi salah satu peristiwa sosial terbesar di Jawa pada masa itu. Ratusan truk, kereta api, dan kapal digunakan untuk mengangkut manusia beserta harta benda mereka. Rumah-rumah yang sebelumnya berdiri kokoh akhirnya ditinggalkan. Sebagian dirubuhkan agar tidak membahayakan ketika air waduk mulai naik.
Bagi warga yang tergusur, bedhol desa adalah pengalaman yang penuh duka. Banyak yang merasa kehilangan tanah kelahiran, ikatan sosial, serta memori kolektif yang terikat pada desa lama. Ada cerita tentang warga yang menangis ketika harus meninggalkan pusara keluarga yang tidak mungkin dipindahkan. Ada pula kisah tentang perpisahan haru di antara tetangga yang sebelumnya hidup rukun, kini tercerai-berai ke daerah baru.
Namun, di balik luka itu, terselip pula harapan. Pemerintah menjanjikan kehidupan yang lebih baik di lokasi baru, dengan lahan pertanian yang lebih luas, fasilitas pendidikan, dan peluang ekonomi. Bagi sebagian warga, relokasi ini justru menjadi awal dari kehidupan baru yang lebih menjanjikan. Mereka belajar beradaptasi dengan lingkungan berbeda, menanam komoditas baru, bahkan mengenal tradisi masyarakat setempat di tanah transmigrasi.
Proses adaptasi memang tidak mudah. Banyak warga yang harus berjuang keras menghadapi keterbatasan lahan, perbedaan iklim, dan keterasingan sosial. Namun, seiring waktu, mereka berhasil membangun komunitas baru, menjadikan pengalaman bedhol desa sebagai simbol keteguhan dan daya juang.
Setelah melalui proses panjang, Waduk Gajah Mungkur akhirnya resmi dioperasikan pada tahun 1981. Waduk ini memiliki luas genangan sekitar 8.800 hektar, membentang hingga menutup sebagian besar wilayah kecamatan di Wonogiri. Dari udara, waduk ini tampak seperti lautan luas yang dikelilingi perbukitan hijau, menjadikan pemandangan yang indah sekaligus monumental.
Dari sisi fungsi, waduk ini berhasil menjalankan perannya. Banjir Bengawan Solo dapat dikendalikan lebih baik. Ratusan ribu hektar sawah di Jawa Tengah dan Jawa Timur memperoleh irigasi yang stabil. PLTA Waduk Gajah Mungkur mampu menyuplai listrik bagi masyarakat. Sektor perikanan air tawar berkembang pesat dengan budidaya ikan nila, mujair, dan patin. Selain itu, waduk ini menjelma menjadi destinasi wisata unggulan, menarik ribuan pengunjung setiap tahun.
Waduk Gajah Mungkur kemudian dikenal bukan hanya sebagai bendungan, tetapi juga sebagai ikon Kabupaten Wonogiri. Ia melambangkan keberhasilan pembangunan nasional pada era Orde Baru, sekaligus menjadi bukti nyata pengorbanan rakyat demi kepentingan bangsa.
Kini, lebih dari empat dekade setelah genangan pertama, kisah pembangunan Waduk Gajah Mungkur tetap hidup dalam ingatan masyarakat. Setiap kali orang menyebut bedhol desa, ingatan akan relokasi massal itu kembali hadir. Para generasi tua yang mengalami langsung peristiwa tersebut menyimpan kisah yang dituturkan kepada anak cucu mereka.
Bagi bangsa Indonesia, kisah Waduk Gajah Mungkur adalah memori kolektif tentang pembangunan dan pengorbanan. Ia menunjukkan bagaimana negara dan rakyat bernegosiasi menghadapi perubahan besar. Di satu sisi, ada semangat modernisasi yang menghadirkan kesejahteraan, di sisi lain ada harga sosial yang mahal berupa hilangnya desa-desa lama.
Melalui kearsipanâbaik berupa dokumen, foto, maupun kesaksian lisanâkisah ini dapat terus diwariskan. Arsip pembangunan waduk bukan sekadar catatan teknis, tetapi juga saksi emosional tentang pengorbanan masyarakat Wonogiri. Inilah yang menjadikan Waduk Gajah Mungkur bukan hanya warisan fisik, melainkan juga warisan ingatan yang membentuk identitas bangsa.
Perjalanan sejarah Waduk Gajah Mungkur adalah cerita tentang mimpi besar, pengorbanan, dan adaptasi. Dari gagasan pengendalian banjir Bengawan Solo, pembangunan besar-besaran, bedhol desa yang penuh air mata, hingga kini menjadi pusat kehidupan ekonomi dan wisataâsemua menyatu dalam narasi panjang yang kaya makna.
Kisah ini mengajarkan bahwa pembangunan selalu memiliki dua wajah: keberhasilan teknis dan tantangan sosial. Ia mengingatkan bahwa setiap jengkal kemajuan selalu ditopang oleh pengorbanan orang-orang yang rela meninggalkan kenyamanan demi masa depan bangsa.
Waduk Gajah Mungkur bukan hanya tentang air yang mengalir, listrik yang menyala, atau ikan yang berkembang biak. Ia adalah tentang ingatan bersamaâbahwa di balik sebuah bendungan megah, ada kisah manusia yang tak boleh dilupakan. Kisah inilah yang kini kita rawat sebagai potensi memori kolektif bangsa, agar generasi mendatang memahami arti sejati dari pembangunan dan pengorbanan.
Website pameran virtualnya keren bos…